Proyek Digital Bukanlah Transformasi
Di sektor FMCG, farmasi, dan tembakau, digitalisasi telah menjadi kata populer. Banyak organisasi dengan bangga menampilkan inisiatif teknologi—aplikasi mobile, pembaruan CRM, otomasi gudang, uji coba AI—sebagai tanda transformasi. Namun, jika ditelisik lebih jauh, masing-masing proyek ini kerap berdiri sendiri, tidak terhubung satu sama lain bahkan tidak selaras dengan tujuan strategis perusahaan. Hasilnya bukan transformasi, melainkan upaya-upaya digital yang terfragmentasi. Transformasi bisnis sejati bukan tentang menerapkan alat digital secara terpisah (silo), melainkan menyelaraskannya dengan keseluruhan proses end-to-end, sasaran kinerja, dan perubahan budaya. Tanpa konteks tersebut, proyek digital akan gagal menghasilkan nilai maupun menghasilkan perubahan yang dijanjikan. Peta Jalan Indonesia Digital 2021–2024.
Kurangnya Integrasi Membatasi Dampak
Salah satu jebakan terbesar dari proyek digital yang terputus adalah ketiadaan integrasi sistem. Perusahaan mungkin menerapkan Sales Force Automation (SFA) di lapangan, modul Trade Promotion Management (TPM) di kantor pusat, dan dashboard pelaporan terpisah untuk keuangan—namun jika semua alat ini tidak saling terhubung, yang terjadi adalah alur kerja terpecah dan upaya yang berulang. Data penjualan bisa tidak selaras dengan belanja promosi, sementara pelacakan klaim tidak sinkron dengan visibilitas stok. Manajer menghabiskan waktu merekonsiliasi angka alih-alih menganalisis pola. Tanpa integrasi, kumpulan komponen digital tidak pernah menjadi sistem cerdas yang kohesif untuk mendukung eksekusi strategi. Perpres Satu Data Indonesia No. 39/2019.
Inisiatif Sering Didorong Kebutuhan Departemen, Bukan Strategi Perusahaan
Proyek digital yang terputus sering lahir dari masalah spesifik tiap fungsi—penjualan butuh aplikasi pelaporan yang lebih baik, keuangan ingin data yang lebih bersih, trade marketing mengejar otomasi. Niat ini valid, namun jika tiap fungsi membangun secara terpisah, organisasi berakhir dengan tumpukan alat yang saling tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan logikanya. Tanpa visi digital terpusat, inisiatif dipilih berdasarkan prioritas lokal, bukan dampak terhadap perusahaan. Investasi dilakukan tanpa penyelarasan lintas fungsi, yang berujung pada adopsi yang tidak konsisten, pemborosan, dan peta jalan digital yang melemah.
Alat yang Terisolasi Menciptakan Perilaku Tersekat
Alat membentuk perilaku. Ketika setiap departemen atau distributor bekerja dengan sistemnya sendiri, hal itu memperkuat pola pikir dan eksekusi yang terkotak-kotak. Tim mengoptimalkan metrik keberhasilan milik masing-masing alih-alih mengejar hasil bersama. Kolaborasi menjadi manual dan akuntabilitas kabur. Fragmentasi ini memperlambat eksekusi, meningkatkan biaya operasional, dan mempersulit identifikasi akar masalah saat terjadi gangguan. Alih-alih membangun organisasi yang terhubung secara digital, perusahaan justru menciptakan dinding digital antar departemen.
Kelelahan Digital Muncul Saat Hasil Tak Terlihat
Seiring waktu, upaya digital yang terputus memunculkan kelelahan di dalam organisasi. Karyawan diminta mempelajari banyak sistem, mengulang tugas di berbagai platform, atau menyesuaikan diri dengan alat yang tidak sesuai alur kerja mereka. Ketika alat-alat tersebut tidak menunjukkan dampak nyata, keterlibatan menurun dan skeptisisme meningkat. Tim menjadi berhati-hati terhadap inisiatif baru, bahkan yang sebenarnya berpotensi tinggi. Orang-orang yang paling dibutuhkan untuk mendorong transformasi justru mulai menolak—bukan karena enggan berubah, melainkan karena pengalaman mengecewakan sebelumnya.
Transformasi Bisnis Memerlukan Pola Pikir Platform
Untuk beralih dari digitalisasi yang terfragmentasi menuju transformasi yang nyata, organisasi harus mengadopsi pola pikir platform. Artinya, merancang infrastruktur digital yang menghubungkan fungsi, berbagi logika, dan adaptif terhadap kebutuhan bisnis. Platform terpadu bukan berarti satu sistem monolitik—melainkan ekosistem yang saling berinteroperasi, selaras dengan proses inti, dan dikelola secara terpusat. Pendekatan ini mendukung kelincahan, memungkinkan inovasi di satu area diskalakan ke area lain. Pola pikir platform juga memperkuat integritas data, sehingga keputusan menjadi lebih tepat dan eksekusi lebih cepat. PIDI 4.0 (Making Indonesia 4.0).
Kepemimpinan Harus Mendorong Penyelarasan
Transformasi bisnis tidak bisa diserahkan hanya kepada departemen tertentu atau tim TI. Kepemimpinan perlu menetapkan “mengapa” di balik setiap inisiatif digital dan memastikan penyelarasan lintas pemangku kepentingan. Metrik keberhasilan harus berskala perusahaan, bukan spesifik fungsi. Keputusan investasi harus mempertimbangkan integrasi, skalabilitas, dan nilai jangka panjang—bukan sekadar solusi tambal-sulam jangka pendek. Saat kepemimpinan mengusung transformasi yang terhubung, tim akan melihat digital sebagai perjalanan bersama—bukan sekadar kumpulan alat yang berdiri sendiri. Perpres 82/2023: Percepatan Transformasi Digital & Layanan Digital Terpadu.
Kesimpulan: Integrasi Adalah Fondasi Transformasi
Proyek digital yang terputus mungkin memberi kemenangan cepat, tetapi menimbulkan fragmentasi jangka panjang. Agar benar-benar bertransformasi, organisasi harus menyatukan sistem, proses, dan orang di sekitar visi digital yang terpadu. Hanya dengan begitu teknologi dapat menjadi katalis pertumbuhan—bukan kegiatan tambalan yang akhirnya berbuah inefisiensi. Transformasi bukan soal berapa banyak alat digital yang diterapkan, melainkan seberapa baik semuanya bekerja bersama untuk melayani strategi Anda. SPBE – Perpres 95/2018.